Kamu Ingat?

Hei kamu. Kamu ingat? Tepat setahun yang lalu, akhir Desember 2015. Kita adalah dua yang saling tidak kenal. Kamu adalah kamu; dengan kerumitan cerita yang diam-diam setia kuikuti dari kejauhan. Bukan bermaksud menguntitmu, hanya saja aku kagum. Kamu, ya kamu. Seorang hawa yang pada satu waktu independen dan tegas, dan pada waktu lainnya childish dan menggemaskan. Semua itu kurangkum dalam satu frase yang tak terpisahkan definisinya, karena itu berarti kamu. Itu yang kucatat dalam buku bulan Desember. Dan karena saking senangnya aku mengikuti ceritamu, aku sampai tidak sadar. Aku menjadi lebih dari sekedar penggemar rahasiamu. Aku menyukaimu.

Mungkin disisi lain aku juga kurang romantis ya, mengingat kali pertama kita jumpa empat mata. Kita duduk di teras agra, berhadapan. Gagap bicara. Malu tapi mau, enggan tapi ingin tahu. Kamu ingat?

Dari begitu banyak detail kita yang terlewatkan bersama, kini sampailah kita disini; dititik ini. Titik sedekat dua kelingking yang saling memagut. Terimakasih sayang; untuk cerita sepanjang 2015. Sungguh, terimakasih.

Selamat natal dan Tahun baru chacha :)

Kamu ingat? Jangan nyengir, aku tahu kamu pasti tidak akan lupa dengan ucapan itu.

-  dedicated to my dearest  -

@albert_karwur
3 January 2016

Suatu Malam

Kamu tertawa, tapi dengan jelas aku bisa melihat air mata yang tidak sempat mengembang. Tertahan. Atau lebih tepatnya ditahan. Dan air mata yang tidak sempat menggenang tersebut ternyata bukan satu-satunya hal yang ditahan di malam hari itu. Afeksi yang membanjiri hatiku juga harus dibendung supaya tidak jebol dan menyapu apa yang sudah kita punya saat ini, sesuatu yang terlalu berharga untuk dipertaruhkan hanya karena saya berharap afeksi itu tidak berjalan satu arah.

"Kita akan terus mencintai setelah disakiti. Tapi kita akan mencintai dengan cara yang berbeda, tidak akan pernah sama lagi."* Begitulah saya mencintaimu sekarang. Dengan segala ketidaktahuan saya mengenai dirimu di balik selapis ekspresi wajah serupa topeng gareng yang tidak pernah berhenti tersenyum, dengan segala ketakutan saya akan datangnya rasa nyeri dan kehilangan yang meninggalkan sesak berkepanjangan.

Aku dan kamu. Air mata yang menggenang. Perasaan. Sesuatu yang (entah sampai kapan) akan terus ditahan.

12 Agustus 2015

@albert_karwur

Marah

Sejauh yang bisa saya ingat, selalu ada segenggam kemarahan yang terpaksa saya simpan rapat di dalam hati. Tidak mudah untuk menyembunyikannya, tapi juga tidak sulit untuk menjadikan apa yang seharusnya kasat menjadi tersirat. Berbekal tawa menggelegar dan kemampuan untuk menghindar yang sudah dipoles bertahun-tahun, jadilah kemarahan yang sudah membatu itu berada di luar jangkauan pandangan mereka yang tidak saya izinkan untuk masuk ke dalam batasan perimeter personal.

Saya marah. Marah yang merah. Marah yang gerah. Marah yang pasrah. Marah yang belum juga menjadi telah. Marah yang sudah terlampau lelah untuk mencapai sudah.

Saya marah pada mereka yang tidak mau mengenal namun telah berani menjatuhkan vonis. Pada mereka yang terlihat agamis namun dari mulut mereka tercium kemunafikan berbau amis. Saya marah dengan mereka yang berteriak perjuangan dan kemudian dengan percaya dirinya memilih berkubang dalam lingkaran setan politis.

Saya lelah dengan tragedi. Terkadang dunia ini tidak lebih dari sebuah parodi kolosal dengan begitu banyak pemain figuran yang cuma seliweran tanpa menangguk banyak perhatian. Masing-masing saling sikut untuk sedetik lebih lama di bawah pancuran lampu sorot. Semua benar, semua halal.

Sampai sejauh  mana kita, manusia, mengkhianati kemanusiaan itu sendiri?
Sampai kapan kita memilih untuk buta dan tuli untuk tenggelam dalam lumpur keluhan yang tidak berujung?

@albert_karwur
30 Juli 2015

Sun, Night, Moon

In the beginning, there was Nothingness.

Nothingness gave birth to the Sun.

The Sun had immense power. It had control over everything and anything, but it was pure and kind. The Sun helped give life to the World and all its creatures. It caringly took care of everything and maintained peace. There was nothing that the Sun did not notice, for the World owed its existence to it.

For a while, all was well.

Almighty though it was, the Sun eventually grew tired of being alone. Eventually, the Sun decided to speak of this to the Nothingness.

“I am tired of always being present,” said the Sun.

“So, what is it that you want?” asked Nothingness in reply.

“Please give me company, so that we can take turns watching the World.”

“Are you sure about this?”

“Yes.”

“But one that can take turns for you must have equal strength with you. Are you alright with that?”

“I do not care,” answered the Sun recklessly. “If worse comes to worst, it will be my responsibility.”

Nothingness looked at the Sun and sighed.

“So be it.”

And Night was born.

Sun, Night, Moon

a short by Chris Zhou

Possessing equal powers with the Sun, the Night was everything its sibling was not. If the Sun was open, the Night was elusive. If the Sun was wise, the Night was much more… brash. But, the Sun cared about the Night very much, as it was its only company, and gave it half of the World to take care of. The Sun called its share of the World a day, and the Night—an arrogant being to its core—called its share its own name, a night. Just like the Sun told Nothingness, the two began taking turns.

While all is well in the day, the night proved to be problematic. Evil and wrongdoings ran rampant in the protection of the darkness, something that the Night fancied so much it dedicated all of its share to revel in. The Night had fun in seeing conflicts and wars, and so violence and bloodshed had turned common. The Sun did not enjoy this, but it knew that it had no right to criticize—it had asked for a sibling, and Nothingness had given it just that. So the Sun did what it could do and bestowed recovery and health for all the creatures to protect themselves from the dangers of a night. It had even introduced to the creatures a source of light in the night, the fire.

The Night did not like what the Sun had done. It decided to confront its sibling.

“I thought you gave me half of the world to be mine? What business do you have, snooping around?” asked the Night coldly.

“I gave it to you to take care of, not to be your plaything. If you continued doing what you did, the night will soon lay waste to everything,” the Sun said sternly.

“That is not a big deal,” sneered the Night. “If anything, that is the natural course of things. Creatures are meant to destroy one another.”

“You are wrong, Night. There is a reason why we can coexist, isn’t there?”

The Night exploded in laughter.

“The only reason you are still around is because I let you. Face it—whatever you do, I can do it better.”

“What do you mean by that?”

“You gave fire to the creatures so that they would see you in the night? I can turn it into something to my advantage. I can… no, I will make them hurt each other using the very thing you gave them.”

“How dare…” the Sun’s expression hardened.

“Oh, yes. In fact, I think I’m beginning to get bored of your presence, sibling. What say you we decide who the ruler of everything should be?”

“Night… you do not want to do this…” The Sun said cautiously. The Night was clearly riled up at this point.

“No objections! I will give you time to prepare. Let us settle this in war!”

As the Night left the Sun alone, the Sun knew it had no choice in the matter.

The Night, in preparations for battle, gave birth to Lies, Malevolence, Cunning, Deceit, and many other evil values to arm its creatures. Wicked feelings became their weapons, allowing them to unleash their wildest potentials. No means are beyond these malicious beings.

The Sun, on the other hand, gave rise to Courage, Steadfastness, Justice, and many noble values for its creatures to defend themselves. The path of the pure and the right became their weapon of choice.

Finally, the Great War between the Sun and the Night began.

The Great War lasted from years to decades to centuries. The World had become a barren place as the result. For every cheating ways that the Night had its creatures pull off, the Sun would always have a triumphant comeback. But nothing could stop Night’s advances, even with the Sun’s loyal creatures at its side—especially because the Night did not play by the rules.

After one particularly intense battle, the Night had the Sun cornered.

“It’s time… to say goodbye… my sibling,” said the Night, panting.

“I will not say goodbye, my sibling,” replied the Sun.

“Then I assume you are ready to surrender to your fate.”

Without any further ado, the Night ended its sibling’s life.

And then everything was dark.

The Night had won. With the Sun’s existence vanished from the World, there was nothing in its way to cover the world in darkness. Nothing had given the World light but the Sun. Fire, which was given by the Sun to the World, was forever banned by the Night. Eventually, the Night banished the fire from existence as well. The World went into dark times. With the Night’s pastime being violence and conflict, battles and fights waged without stop.

But the Sun had left something before it died.

It had given birth to Love.

Before the final battle the Sun, sensing its doom, realized that Night would win the Great War. But, by then, the Sun had realized that it would take something greater than just the Sun, or the Night, to end the meaningless battles. So, with all the strength it had left, it created something… distinct. It created something that was a part of itself, and part of its sibling.

Love was contagious. Love quickly spread across the World, without fail attaching itself to every single creature living in the dark. Finally, it had gotten to the doors of the Night itself, and discreetly it planted itself inside the Night. Love was gentle, yet firm. As a result of two contradicting beings poured into a single feeling, Love felt dynamic and universal. It was also scarily addictive. It had given everyone it crossed paths with a resounding joy like nothing else they had ever felt. All the creatures, and even Night itself, rejoiced because of this new feeling.

But as powerful as Love was, it was not complete. It was something that was created by the Sun, with some of the feelings and values that the Night had. So without the Sun’s existence, Love would never be whole. This drove the Night and all its creatures crazy—mainly because they never thought they would need the Sun for anything. Love has accomplished its mission: to introduce the importance of balance.

At first, the Night restored fire, thinking that it would help. But nothing worked.

So the Night and the whole World begged Nothingness to restore the Sun. And Nothingness, secretly amused by the Sun’s ingenuity, granted their wish.

The Sun was alive again, but this time, it made a pact with the Night to ensure everlasting peace. The Sun would give a little bit of itself in the night, and the Night would have a sign of its presence even during the day.

And so, the Moon was born out of this agreement.

Perhaps that’s why the moon is so romantic.

By Christopher Zhou

Menjelajah Kenangan

Aku diam. Melamun, memikirkan waktuku yang mulai terenggut pergantian tahun. Momen ini memang memberi makna yang berbeda. Sedih, senang, haru, macam-macam. Boleh-lah mengintip kembali. Mencoba mencari satu-dua hal menarik. Dan benar, itu selalu tentang kita. Walau rasanya kini tabu untuk dituai, tapi biarlah. Sekilas saja, sekali ini tak apa. Toh, ini yang terakhir.

Dulu sekali, aku ingat, kita tidak pernah tahan untuk bungkam. Kau dan aku akan bercerita tentang apa saja. Tentang anjingku yang baru belajar salam, tentang kelas yang tadi kau ikuti sebelum bertemu aku. Kita akan bertanya-tanya sejak kapan parkiran kantonk naik seribu perak. Kita akan berdebat gerobak mie ayam mana yang paling enak. Kita akan menolak untuk lebih dulu terlelap, enggan menjadi yang pertama mengucapkan selamat malam

Luar biasa bagaimana waktu bisa berjalan sambil membuat kita terlena. Satu demi satu detail akan terlewat, dan kita terseok maju ke depan seperti mobil tua yang kehabisan pelumas. Perlahan kita lupa rasanya menjadi kita.

Tapi, mungkin juga aku salah. Mungkin juga ini memang hal yang biasa saja. Karena begitulah waktu akan hadir, di satu kesempatan waktu akan datang sambil membawa pupuk, menyuburkan apa saja yang telah ditabur benihnya. Di satu kali lain, dia akan datang membawa kemarau panjang. Mengerontangkan apa yang tadinya bersemi hijau menjadi gersang.

Mungkin memang cerita tentang waktu dan kenangan bukan tentang jumlah harinya, berapa lamanya, atau sekian banyak durasinya. Ini lebih berbicara tentang kualitas, soal arti dari tiap detik-detik tersebut. Tapi, entah sial atau beruntung ada saja yang teringat tentang kita. Aku juga tidak tahu, dan tidak mau tahu lagi.

Don't count the days, make the days count.

Aku masih dalam ketiadaan kata.
Belenggu bisu masih memborgol lisan.
Karena itu, biarkan aku merenung,
sebentar saja.

@albert_karwur
31 December 2014

Dingin

Kamu kedinginan? Aku juga kok, makannya ACnya kumatikan. Wajar saja demikian, melihat jemarimu menyelip mencari sela diantara kehangatan baju. Memang dingin kok akhir-akhir ini, cuacanya kurang bersahabat. Apalagi malam ini, baru saja selesai hujan turun; menyisakan gerimis berjatuhan tetes demi tetes membasahi jalan. Pecek, berkabut, dan tidak karuan. Terdengar sepertimu.

Aku memang pria yang sok tahu, pria mana yang tidak tahu? pria mana yang tidak peka kalau kau sedang sedih? Menangislah semampumu, toh malam masih panjang menemani. Sekalipun dingin, jangan biarkan dirimu ditelanjangi angin malam. Balutlah dirimu dengan baju hangat dan teh panas. Percayakan saja bahwa esok hari kan lebih cerah. Masa depanmu tidak akan berhenti disini.

Tersenyumlah.
Bagaimana?
Sudah lebih hangat?

Mengintip

Bukan tanpa alasan aku suka mengintip. Karena kamu cantik? bukan. Manis? hahaha. Kalaupun iya, mestinya aku sudah neg dengan manisnya wajahmu karena saking manisnya. Jangan nyengir dulu, aku nggak nggombal kok. Sebenarnya menurut hakekat, melihatmu itu gratis. Toh, foto-fotomu juga banyak terpampang bergantian di walpaper laptopku. Jadi tidak usah repot mencari celahpun, memandangmu itu bebas; tanpa dosa. Namun, seindah-indahnya tayangan empat mata denganmu, tetap menjadi istimewa tiap kali aku mengintipmu. Seperti pada waktu kamu sedang tertidur pulas. Tapi lebih indah lagi saat kamu sedang berdoa. Kamu harus lihat wajahmu kala itu; istimewa. Nggak munafik.

Jangan nyengir lagi, aku nggak nggombal kok.

Ini seriusan.
hahaha

@albert_karwur
20 Juli 2014